TAMPIL membuka Pesta Topeng Cirebon adalah Ibu Sawitri, dalang topeng dari Losari. Di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, ia membawakan Klana dan Tumenggung. Yang kemudian terpancar dari arena itu adalah seorang penari yang jelita dan perkasa, bak karang yang kukuh menjulang di tengah badai. Penampilan Sawitri tak keropos karena derita dan waktu. Seperti 11 tahun silam, di Teater Arena ini juga, ia masih tetap gesit dan lincah. Boleh dikata, Sawitri tampil semakin matang karena tempaan: gagah, agung, dan cemerlang. Sawitri tampaknya menjadi bintang dalam Pesta Topeng Cirebon di Taman Ismail Marzuki, 2-7 November pekan lalu. Pesta yang menghadirkan lebih dari 150 seniman topeng: dalang (penari), nayaga (pemain gamelan), dan pengukir kedok (topeng) dari enam wilayah Cirebon: Losari, Majalengka, Gegesik, Indramayu, Kalianyar, dan Slangit. Dan inilah pertama kali Pesta Topeng Cirebon menghadirkan tiga generasi seniman topeng. Munculnya generasi ketiga itu tak terlepas dari upaya Sawitri. Sebelas tahun yang lalu itu, 1982, Sawitri menari di Taman Ismali Marzuki mendampingi kakak kandungnya, Dewi, 70 tahun, sesama pewaris topeng Losari dari ayah dalang Sumitra. Penampilan itulah yang menyalakan api dua bersaudara ini untuk membangkitkan kembali topeng Losari, yang waktu itu bukan saja tak ada kaderisasi, tapi generasi dalang topeng sebaya Sawitri boleh dikata sudah tak ada yang aktif. Dengan bantuan dari skenografer Roedjito, Dewi dan Witri menurunkan kemampuan menari mereka ke cucu-cucu. Dewi, yang menerima ''Anugerah Seni'' Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1983, meninggal diserang sakit, pada tahun 1987. Sejak itu, Witri seorang diri meneruskan amanat ayahnya. Hasilnya tampak dalam pentas kali ini. Dialah Nur Anani, dipanggil Nani, cucu Dewi dari Ibu Murti. Siswi kelas satu SMA PGRI Losari itu menarikan Patih. Ia menonjol dari ketiga saudaranya: Kartini, Umirah, dan Tanengsih. Secara teknis Nani memang belum matang benar, dan dari lima nomor pokok, baru tiga yang ia kuasai: Pamindo, Patih, dan Klana. Rumyang dan Tumenggung belum. Tapi tubuhnya yang kecil tak menghalanginya mengekspresikan peran Patih yang tua dan berwibawa. Ia tampil menjiwai, gagah, dan agung seperti gurunya: Sawitri. Kesan saya, ada rasa yang mirip dituturkan Sawitri jika sedang menari pada Nani: ''Kelihatan oleh saya penonton itu kecil-kecil dan saya yang paling gede. Nggak melihat ini nggak melihat itu, saya yang gede sendiri.'' Walhasil, regenerasi topeng Cirebon berlanjut, tapi bukannya tanpa masalah. Seperti dituturkan dalang Sujana dari Slangit, dalam menari topeng ada dua aspek penting: keterampilan badan dan pengalaman batin. Yang lahiriah itu mudah dikuasai asal tekun dan (waktu dulu) tahan gebuk dari sang guru biasanya bapaknya sendiri. Tapi yang batin, sulit, tak setiap orang tahan mendalaminya. Pada masa lalu, pengalaman batin ini dilatih dengan ''laku'' atau ''mengisi''. Caranya macam-macam: puasa Senin-Kamis, makan pisang satu sehari, atau mutih beberapa hari (kalau kuat sampai 40 hari). Atau mandi berturut- turut di 7 jamban (tempat mandi di sungai). Sawitri memberi contoh, ''Saya belajar sangat tekun. Puasa, perut kosong, mata nggak boleh tidur satu malam. Anak-anak sekarang mana bisa nggak makan nggak minum seminggu?'' Menurut Sawitri, anak-anak sekarang tidak belajar dari hati, yang intinya adalah mempertebal rasa percaya diri, penghayatan, dan penampilan panggung. ''Biar tidak grogi menari di depan orang banyak,'' kata Baedah dan Baerni, dua dalang muda, cantik, yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi: IKIP dan ASTI Bandung. ''Biar nopeng-nya disenangi penonton dan banyak terima panjer (pesanan),'' kata dalang Sumarni, yang setengah baya, atau, ''Agar selamat dunia dan akhirat,'' tutur dalang tertua, Buniah (83 tahun) dari Gegesik. Memang, posisi topeng Cirebon kini jelas beda dengan 20 tahun lalu. Beberapa penopeng telah tampil di forum dunia: Hong Kong, Australia, Amerika Serikat, dan Jepang. Topeng Losari, yang pernah kecewa karena tak jadi pergi, bulan ini akan melawat ke New York, Amerika Serikat. Mudah-mudahan ditangani dengan benar dan pemrakarsanya tahu luar-dalam topeng Losari. Tak mudah memindahkan tontonan desa ke panggung metropol. Tapi tampil atau tak tampil di panggung dunia, upaya mempertahankan nasib topeng Cirebon berjalan tersendat-sendat. Bunga liar yang indah itu kadang-kadang memang menarik perhatian seorang pengelana yang sesekali iseng memetiknya untuk menghias kamar tamu, tapi seterusnya tak dipedulikan. Bisa dimengerti bila topeng Cirebon lebih senang mencari formatnya sendiri dengan merespons situasi setempat: sistem latihan yang lebih cocok, selera masyarakat penanggap yang menghidupi, dan ''saran'' petugas yang membatasi. Larangan untuk ngamen, misalnya, memutus sebuah mata rantai penting dalam regenerasi topeng Cirebon: pewarisan keterampilan dan pematangan karakter. Dengan seringnya pentas ngamen, uang didapat, hafalan dilatih, dan penghayatan diperdalam. Latihan keras untuk menanamkan kecintaan profesi dan disiplin diri seperti dituturkan Witri dan Sukmara masih ada tapi cenderung dijauhi. Witri menceritakan kakaknya, Dewi, ketika masih kecil. Kakak itu, ceritanya, pernah disiram air panas oleh ayahnya karena salah menari dalam tanggapan, ''sampai nggak tumbuh lagi rambutnya.'' Sukmara (kelas 1 SMP, penari Rumyang pada malam pertama) menuturkan disiplin kakeknya mengajar. ''Tidak boleh salah, tidak boleh, kalau salah dipukul. Kadang-kadang kedok saya (dipukul) sampai rusak, nanti dibetulkan. Terus mencoba belajar di depan kaca. Dicari pasnya seperti apa: kalau tolak pinggang seperti apa, jadi kelihatan tarinya. Ketawanya harus benar-benar selaras.'' Faktor lain yang mempengaruhi regenerasi topeng Cirebon yaitu selera penonton. Kini banyak anak muda yang lebih suka tarling, sandiwara, dan dangdut. Konon, dalam sebuah hajatan, dalang topeng kesohor dari Slangit, yang berulang kali melanglang buana, harus menghentikan pertunjukannya karena tak dimaui penonton. Seorang anak muda merebut corong dan mengumumkan, ''Malam ini dilarang menari topeng. Harus dangdut, dangdut,'' dan disambut meriah rekan-rekannya yang mabuk-mabukan. Yang bertahan dan laris adalah yang pandai membaca dan menyesuaikan minat penonton. Dua bersaudara Baerni dan Baedah suka menarikan Samba dan Klana saja, sebagai pembuka dan penutup. Di tengah-tengah diisi dangdut, jaipongan, dan lain- lain. Keduanya juga suka main sandiwara dan menyanyi tarling yang memang lebih gede bayarannya. Pekan lalu, mereka harus mengorbankan lima tanggapan untuk mengikuti Pesta Topeng di Jakarta. Dalang muda lain, Wangi, 33 tahun, dari Indramayu, yang juga cantik dan nyerocos kalau sudah bicara, sering pula melakukan hal serupa Erni dan Edah, walau dengan hati tak rela. Dalang ini baru belajar menari usia 16 tahun karena dipaksa ayahnya, dalang Taham, yang terkenal keras. ''Adik saya tangannya pernah bengkok karena dipukul Ayah.'' Tapi, setelah mencicipi, hati Wangi lekat dengan topeng. Ia cinta dan ingin menarikan Panji yang sudah dengan susah payah dipelajarinya, meski penonton muda banyak yang tak senang. Maka, ia menambah profesi untuk hidup: main sandiwara dan mendalang wayang kulit. Sebuah langkah yang bijak. Ia satu- satunya dalang wayang kulit wanita di Cirebon. Cuma, ia juga pernah sakit hati karena dalam usia 33 tahun dikatakan petugas terlalu tua untuk menari dan disarankan untuk berhenti. Hal begini ini yang sering membunuh kreativitas. Tiga generasi dalang topeng tampil di Pesta Topeng dengan aspirasinya masing-masing. Baerni, Baedah, dan Wangi adalah generasi kini yang dapat menyesuaikan diri dengan selera masyarakat yang semakin sekuler dan memasar. Nani, Sukmara (Losari), Pipit (Gegesik), dan Inu Kertapati (Slangit, anak Sujana, kelas 1 SMP) yang berbakat barangkali masih terlalu dini menentukan pilihan. Kemudian ada generasi tua seperti Jana, Buniah, Carpan, dan Sawitri yang gigih bertahan. ''Saya tidak akan menghilangkan adat karuhun. Asli saya bilang. Orang senang ayo, nggak senang sudah. Kalau untuk tari merangsang, sudah, telanjang saja,'' kata Sawitri ketus. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selamat datang di Website resmi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, Website ini dimaksudkan sebagai sarana publikasi untuk memberikan Informasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dalam Hal Publikasi kepada masyarakat. Melalui keberadaan website ini kiranya masyarakat dapat mengetahui seluruh informasi tentang Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Diharapkan website ini bisa dijadikan sebagai salah satu media komunikasi yang efektif, dapat memberikan informasi, layanan yang akurat dan akuntabel untuk membangun Kabupaten Tapanuli Tengah.
Semoga Website ini memberikan manfaat bagi kita semua. Terima Kasih..!
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Lokasi Danau Burung masih berada di dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, yang akhirnya semakin lengkap objek wisata yang ada di dalam TNTP. Danau Burung terbagai menjadi dua wilayah yakni wilayah Kabupaten Sukamara dan sebagian berada di dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat. Tempat wisata di Kalteng ini memang menjadi surganya para pecinta burung yang memiliki beragam jenis burung yang tinggal di Danau Burung sebagai tempa thabitat aslinya. Bird watching salah satu aktifitas para penggemar burung yang ada di hutan rawa ini.
- Parkir - Mushola - Warung Makan - Tempat Foto
Kotawaringin Barat, Kumai Hulu , Kumai , KAB. KOTAWARINGIN BARAT Lihat lokasi dipeta